Faktor Dibalik Menurunnya Motivasi Belajar Siswa
SEKOLAH
merupakan salah satu lingkungan yang sangat berperan dalam perkembangan
kepribadian seorang anak. Selain di lingkungan keluarga (rumah), bagi
anak-anak yang sudah bersekolah, sekolah-lah lingkungan yang setiap hari
dimasukinya. Anak-anak yang sudah duduk di bangku SMP atau SMA pada
umumnya menghabiskan waktu sekitar tujuh jam dalam sehari di sekolahnya.
Ini berarti hampir sepertiga dari waktunya setiap hari dilewatkan di
sekolah . Sehingga pengaruh sekolah terhadapa perkembangan jiwa anak
cukup besar.
Sebagai lembaga pendidikan, sebagaimana halnya di lingkungan
keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat di samping mengajarkan berbagai
keterampilan dan kepandaian kepada para siswanya. Pengaruh yang
didapatkan tentunya diharapkan pengaruh yang positif terhadapa
perkembangan para siswa.
Sekolah yang tadinya merupakan lembaga pendidikan-pembentuk nilai
dalam diri anak (baca:siswa) juga tidak lepas dari berbagai tantangan.
Kalau kita lihat sekarang ini, tidak hanya lingkungan sekolah dan
lingkungan keluarga sebagai tempat bagi para anak-anak, baik sebagai
tempat bermain, belajar dan lain sebagainya. Banyak lingkungan lain yang
menyebabkan motivasi belajar siswa menurun akibat dari adanya berbagai
hal yang terjadi di sekolah. Kita lihat saja contohnya di kota Padang ,
seperti adanya pasar, supermarket, plaza, dan tempat-tempat rekreasi
lainnya yang mungkin saja merupakan alternatif yang lebih menarik bagi
para siswa daripada sekolah itu sendiri. Dan kenyataannya, para siswa
terkadang lebih memilih pasar, plaza, mall dan lain sebagainya sebagai
tempat untuk nongkrong. Meski di satu sisi, masih banyak anak-anak tidak
seperti itu. Tetapi yang dibahas kali ini lebih tertuju kepada mereka
yang disebutkan di atas.
Menurut hemat penulis salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya
motivasi para siswa yang menyebabkan para siswa lebih memilih lingkungan
di luar sekolah adalah materi pelajaran dan guru yang menyampaikan
materi pelajaran itu sendiri. Mengenai materi pelajaran sering
dikeluhkan oleh para siswa sebagai hal yang membosankan, terlalu sulit,
terlalu banyak bahannya untuk waktu yang terbatas, dan sebagainya. Akan
tetapi lebih utama dari faktor materi pelajaran, sebenarnya adalah
faktor guru.
Membahas masalah ini mengingatkan penulis ketika masih duduk di bangku
SMA. Banyak pendapat dari teman-teman yang mengeluhkan tentang guru-guru
yang menyajikan pelajarannya dengan cara yang kurang menarik. Dan ini
pun nantinya akan mempengaruhi mata pelajaran itu sendiri. Dengan adanya
pandangan negatif oleh siswa terhadap salah seorang guru, secara
otomatis mata pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut juga tidak
akan lagi disukai oleh siswa. Dan itu pun sudah terbukti bagi penulis
sendiri ketika masih di SMA, pelajaran yang tidak disukai adalah
pelajaran fisika. Pada awalnya memang ada rasa dongkol yang timbul
ketika mendengar pelajaran fisika dan melihat guru fisika itu sendiri.
Seandainya disuruh untuk memilih, tentu keluar atau tidak hadirlah yang
merupakan salah satu cara yang nyaman untuk tidak mengikuti pelajaran
tersebut. Hal ini terjadi disebabkan tidak menariknya materi pelajaran
yang disampaikan oleh guru tersebut dan terlalu serius. Ditambah lagi
dengan mata pelajarannya yang sulit. Kenyataan seperti ini rasanya sudah
umum terjadi di seluruh negeri ini.
Berkurangnya semangat belajar para siswa, pada akhirnya akan
menyebabkan kurang betahnya siswa untuk mengikuti proses belajar di
sekolah. Sehingga ada sebagian dari siswa yang lebih memilih untuk tidak
hadir atau “cabut” di saat ada mata pelajaran atau salah seorang guru
yang tidak disukainya.
Timbul sebuah pertanyaan, mengapa para guru kurang bisa menyajikan
pelajarannya dengan menarik? Kalau kita bandingkan dua puluh tahun yang
lalu, di mana ada sebuah survey tentang ketidakpuasan kerja yang
dilakukan oleh harian Kompas (1988), terhadap 350 orang guru dan dosen
di Jakarta, Surabaya, Bandung dan Yogyakarta. Hanya 23% yang mengatakan
puas terhadap imbalan gaji yang diterima dan 30% yang menyatakan
kepuasannya dalam karir, sisanya menyatakan masih belum puas atau sama
sekali tidak puas terhadap imbalan gaji yang diberikan. Tetapi kalau
mengenai status memang agak lebih banyak yang menyatakan kepuasannya,
yaitu sampai 46%.
Rasanya sekarang juga tidak jauh berbeda dengan dua puluh tahun yang
lalu. Hal-hal yang masih hangat untuk dibicarakan di kalangan para guru
adalah imbalan gaji yang masih terlalu rendah. Ini memang benar, apabila
kalau kita bandingkan dengan Negara tetangga, Malaysia , gaji para guru
di Indonesia memang jauh lebih kecil dari Malaysia .
Namun pemerintah Indonesia juga tidak tinggal diam. Kabar baik pun
akan diterima oleh para pegawai negeri sipil, TNI-Polri dan pensiunan.
Mulai tahun 2009 gaji naik 15%, selain itu juga diberikan gaji ke-13.
dan pendapatan guru golongan terendah pada tahun 2009 akan meningkat
menjadi di atas Rp 2 juta, Singgalang (16/8).
Ini menandakan bahwa pemerintah pun tidak tinggal diam terhadap
perkembangan pendidikan di Indonesia . Hingga alokasi anggaran belanja
pegawai sebesar Rp 143,8 triliun atau naik sekitar Rp 20,2 triliun.
Tidak hanya sebatas faktor materi pelajaran dan cara guru yang kurang
menarik dalam menyampaikan materi pelajaran yang menyebabkan
berkurangnya semangat belajar para siswa. Lingkungan antarteman pun
besar pengaruhnya. Apa yang dikatakan guru tidak lagi menjadi
satu-satunya ukuran meskipun guru itu disegani. Ajakan-ajakan dari teman
itu lebih berpengaruh. Tidak sedikit para siswa yang melakukan
perbuatan asusila, seperti halnya merokok, minuman keras, narkoba,
hingga perbuatan mesum lainnya. Di televisi pun hampir setiap
tayangan-tayangan kriminal menyajikan perbuatan-perbuatan mesum, dimulai
dari rekaman melalui handpone hingga tersebar melalui internet. Semua
itu tidak lepas dari interaksi antarteman.
Begitu banyak faktor-faktor yang menyebabkan berkurangnya semangat
belajar para siswa dan perkembangan jiwa para remaja. Akan tetapi
bagaimanapun keluarga dan sekolah masih tetap merupakan lingkungan
primer dan sekunder artinya lingkungan pertama dan kedua yang
berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian dalam dunia anak dan
remaja (siswa). Lingkungan masyarakat bisa begitu kuat berpengaruh pada
umumnya disebabkan karena lingkungan primer dan sekunderlah yang sudah
menurunkan kadar pengaruhnya. Oleh karena itu, untuk dapat mengurangi
sebanyak mungkin pengaruh yang negatif, maka lingkungan orang tua dan
pendidik di sekolahlah yang harus meningkatkan kembali fungsi mereka
sebagai pengendali lingkungan primer dan sekunder. Di Indonesia,
kebutuhan untuk menghargai orang tua dan guru masih cukup besar. Tinggal
bagaimana orang tua dan guru memanfaatkan kebutuhan para anak-anak itu.
Untuk itu diperlukan motivasi yang kuat dari pihak orang tua dan guru
sendiri. Orang tua dianjurkan untuk meluangkan waktu untuk berinteraksi
atau berbicara langsung dengan guru baik dalam acara-acara yang sudah
direncanakan (pengambilan rapor) maupun sifatnya yang lebih khusus.
Karena itu akan membantu dalam mengatasi masalah-masalah yang terjadi
dikalangan siswa. Dan itu membuktikan bahwa banyak masalah yang
berhubungan dengan siswa, anak-anak ataupun para remaja bisa
diselesaikan jika ada kerja sama yang baik antara guru dan orang tua.
Namun sebaliknya, kenyataan dewasa ini sangat minim dengan hal yang
demikian. Kita jarang melihat adanya interaksi secara langsung dan
berkelanjutan antara orang tua dan guru. Kalau ada sebuah kesalahan yang
dilakukan oleh salah seorang siswa barulah dipanggil orang tuanya.
Itupun kalau sudah melakukan sebuah kesalahan yang besar. Coba
seandainya dari pihak sekolah membuat sebuah program secara khusus
terhadap pertemuan atau tatap muka secara langsung terhadap orang tua
dan guru. Tentu itu sedikit banyak akan memperkecil dari masalah
kurangnya motivasi belajar siswa dan masalah lain yang berkembang di
tengah-tengah siswa selaku remaja yang masih menemukan jati dirinya.
(dimuat:Koran Singgalang).
http://afdalade.wordpress.com/2010/09/02/faktor-dibalik-menurunnya-motivasi-belajar-siswa/